Wednesday, February 29, 2012

Harga Sebuah Identitas



Bagaimana jadinya jika tiga orang anak perempuan menempuh lebih dari 2.400 kilometer wilayah tandus untuk menemukan desanya. Rabbit Proof Fence sebuah film yang terinspirasi dari kejadian nyata, mengangkat cerita diskriminasi ras kulit hitam di Australia.



Film garapan Phillip Noyce ini begitu berani mengungkap fakta mengejutkan, bahwa diskriminasi ras tidak hanya terjadi di Amerika atau Eropa. Pada tahun 1930an, entah dengan alasan apa, orang kulit putih di Australia khawatir dengan anak yang memiliki campuran ras kulit hitam dan kulit putih.

Mereka kemudian mendirikan “pusat pemurnian ras” untuk menampung anak-anak yang termasuk dalam ras campuran. Program ini bertujuan agar anak ras campuran tidak terkontaminasi dengan ras kulit hitam yakni suku Aborigin. Ratusan anak yang dicurigai ras campuran kemudian diambil secara paksa dari keluarganya, dan dibawa ke pusat pemurnian ras.

Disana mereka disekolahkan, diajari untuk beragama, dan dilarang menggunakan bahasa Aborigin. Diantara ratusan anak tersebut, terdapat Molly (14), Daisy (8), and Gracie (10). Mereka akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dan mencari desa mereka. Berbekal ilmu bertahan hidup serta teknik mencari dan menghilangkan jejak yang diajarkan ibu dan neneknya, anak-anak ini seolah beradu keahlian dengan Moodoo.

Moodoo, pencari jejak dari suku aborigin yang disewa oleh pemerintah, dikenal sangat mahir dan belum pernah gagal dalam mencari jejak anak-anak yang melarikan diri. Setelah berhari-hari mencari ia kemudian diperhadapkan pada dilemma antara ancaman reputasinya dan kekhawatirannya atas kondisi ketiga anak itu.




Molly dan Daisy melanjutkan perjalanan setelah Gracie berhasil ditangkap. Anak-anak Aborigin ini menempuh ribuan kilometer wilayah tandus Australia hanya berbekal insting, tak ada kompas atau peta, bahkan tak memakai alas kaki. Satu-satunya panduan mereka adalah pagar penghalang kelinci atau bianatang lain yang disebut Rabbit Proof Fence. Mereka tak segan memanjat pohon mengambil telur burung atau meminta kepada para pemburu binatang untuk kebutuhan air munim.


Cerita film ini menjadi bukti bahwa, baik dan buruk, beradab atau primitif tidaklah bisa diukur dari satu sudut pandang saja. Justifikasi “primitive” atau “tidak beradab” pada kelompok tertentu sudah bukan zamannya. 

Molly lebih memilih mempertaruhkan nyawa untuk kembali ke desanya dari pada hidup “nyaman” di pusat pemurnian ras yang katanya untuk me-manusia-kan. Toh mereka punya kehidupan dan kebahagiaan sendiri yang perlu dihargai.

Kini, tentara Australia memutuskan untuk belajar ilmu bertahan hidup di alam (Survive) dari suku asli Aborigin yang berdiam di salah satu wilayah paling tandus di bumi. Bahkan program tersebut konon dimasukkan dalam kurikulum pendidikan militer Australia.


Rabbit Proof Fence ditayangkan pertama kali pada tahun 2002. Film ini  sedikitnya meraih 16 Award dan 8 nominasi dari berbagai festival, diantaranya dari festival di Australia, Amerika, Inggris, Swiss, Afrika Selatan, Spanyol, Brazil hingga Polandia.


Sekitar tahun 2004 saya menonton film ini di sebuah stasiun TV swasta. Cerita miris saat anak-anak itu dirampas dari keluarganya dan bagaimana perjuangan mereka untuk kembali, terus membayang di kepala saya hingga beberapa hari setelah menonton.

Peta rute perjalanan Molly (warna biru)

Ini merupakan film drama paling membekas dalam memori saya, meski terdapat beberapa film drama kemanusiaan yang tak kalah menyentak seperti Life is Beautiful atau Good Bye Bavana. Mungkin film ini menjadi cinta pertama saya dengan film drama kemanusiaan.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment